Kali ini kita akan membicarakan
asal-usul dari masakan Jepang. Bagi Anda yang suka makan, mungkin masakan
Jepang tidak asing lagi bagi lidah Anda. Rasanya yang enak dan manis membuat
Anda ketagihan . Tidak hanya rasanya tetapi bahan-bahan dan bumbu yang
digunakanpun menyehatkan ditambah dengan penampilannya yang menarik. Apalagi
sekarang ini restoran-restoran yang menyediakan masakan Jepang tersebar di
mana-mana. Sukiyaki, nigirizushi, dan tempura adalah salah satu contoh masakan
yang sangat populer di Indonesia, tetapi tahukah Anda sejarahnya? yu..k mari
kita simak sejarahnya berikut ini.
Sejarah
Nihon Shoki merupakan literatur
klasik yang memuat sejarah tertulis paling tua tentang masakan Jepang. Nihon
Shoki mengisahkan tentang Iwakamutsukari-no-mikoto yang merupakan nenek moyang
klan Takahashi. Iwakamutsukari-no-mikoto menghidangkan Namasu dari
ikan cakalang dan kerang Hamaguri
yang dipotong-potong dan diacar dengan cuka. Hidangan ini dibuat untuk Kaisar Keiko yang sedang mengunjungi provinsi Awa karena bersedih atas kematian Yamato Takeru. Iwakamutsukari-no-mikoto bertugas
sebagai juru masak istana dan kemudian dijadikan dewa masakan.
Nasi mulai dimakan orang Jepang sejak zaman Jomon dengan lauk dari bahan
makanan yang dibuat nimono, dipanggang, dan dikukus. Cara
mengolah makanan dengan menggoreng dikenal di zaman Asuka dan berasal dari
semenanjung Korea dan Tiongkok. Teh dan masakan khas
pendeta diperkenalkan di Jepang bersamaan dengan masuknya agama Buddha, tapi hanya berkembang di kalangan
kuil. Makanan khas pendeta dikenal sebagai makanan Buddhis (Shōjin ryōri) yang
melarang keras hewan peliharaan dan binatang buas seperti monyet dijadikan bahan makanan.
Menurut literatur klasik Engishiki, di berbagai tempat di Jepang barat
terdapat upacara yang menggunakan ikan hasil fermentasi yang disebut Narezushi sebagai persembahan.
Pengaruh kebudayaan Tiongkok yang kuat
di zaman Nara berpengaruh pada masakan
di zaman Nara. Makanan dimasak sebagai hidangan pada ritual dan perayaan yang
berkaitan dengan musim. Di sepanjang tahun selalu ada perayaan dan pesta
makan-makan. Cara memasak dari Tiongkok mulai digunakan untuk mengolah bahan
makanan lokal. Penyesuaian cara memasak dari Tiongkok dengan keadaan alam di
Jepang akhirnya melahirkan masakan yang khas Jepang.
Di zaman Heian, masakan Jepang makin
berkembang sambil terus menerima pengaruh dari daratan Tiongkok. Pada masa itu
mulai dikenal makanan seperti Karaage, Karani, kue-kue asal Tiongkok (Tōgashi), dan Natto ala Tiongkok. Sementara
itu, aliran masak-memasak dan etiket makan juga berkembang di kalangan
bangsawan. Fujiwara no
Yamakage menyunting buku memasak
aliran Shijō berjudul Shijōryū Hōchōshiki atas perintah kaisar Kōkō. Sampai saat ini, rumah makan tradisional Jepang sering
memiliki altar pemujaan (kamidana)
untuk Fujiwara no Yamakage dan Iwakamutsukari-no-mikoto.
Makanan olahan dari tahu yang disebut Ganmodoki mulai dikenal bersamaan dengan makin
populernya tradisi minum teh dan
meluasnya ajaran Zen. Di zaman Kamakura,
makanan dalam porsi kecil untuk biksu yang menjalani latihan dikenal sebagai
masakan Kaiseki. Pendeta Buddha
bernama Eisai
kembali ke Jepang membawa teh dari Tiongkok yang dinikmati dengan masakan
Kaiseki. Masakan ini nantinya berkembang menjadi makanan untuk resepsi atau
jamuan makan yang juga disebut Kaiseki, tapi ditulis dengan aksara kanji yang berbeda.
Memasuki zaman Muromachi, kalangan samurai juga ikut dalam urusan
masak-memasak di dalam istana kekaisaran dan tata krama sewaktu makan semakin
berkembang. Aliran etiket Ogasawara berasal dari etiket kalangan samurai dan
bangsawan di zaman Muromachi dan masih dikenal hingga sekarang.
Pejabat Chūnagon bernama Yamakage no
Masatomo mendirikan aliran
masak-memasak yang disebut aliran Shijōryū. Aliran ini menerbitkan buku memasak
berjudul Shijōryū Hōchōsho (buku memasak aliran Shijō). Sementara itu, aliran memasak
bernama Ōkusaryū juga didirikan klan Ashikaga, dan sejak itu orang mulai cerewet
mengenai cara memasak dan menghidangkan makanan. Makanan gaya Honzen (Honzen no seishiki) dan gaya Kaiseki
merupakan dua aliran utama masakan Jepang di zaman Muromachi. Pada gaya Honzen,
makanan dalam porsi cukup untuk satu orang dihidangkan secara individu di atas
meja pendek yang disebut Ozen.
Sementara itu sebagai tandingan gaya Honzen diciptakan makanan gaya Kaiseki yang berkembang dari tradisi menghidangkan makanan dalam
porsi kecil seperti dalam upacara minum teh.
Namban adalah istilah orang Jepang
zaman dulu untuk “luar negeri”, khususnya Portugal dan Asia Tenggara), dan Nambansen adalah
sebutan untuk kapal dari luar negeri. Kedatangan kapal-kapal dari Namban sejak
zaman Muromachi hingga zaman Sengoku membawa serta berbagai jenis masakan yang
disebut Nambanryōri
(masakan luar negeri) dan Nambangashi
(kue luar negeri). Kue Kastela yang menggunakan resep dari Portugal termasuk salah satu
contoh Nambangashi.
Kebudayaan orang kota berkembang pesat
di zaman Edo dan makanan penduduk
kota seperti Tempura dan minuman Mugicha mulai banyak dijual di kios-kios pasar kaget. Pada masa itu mulai banyak dijumpai
rumah makan yang khusus menyediakan Nigirizushi dan Soba. Ōrusuichaya adalah sebutan untuk rumah
makan tradisional (ryōtei) yang digunakan kalangan
samurai sewaktu menjamu tamu dengan pesta makan. Makanan dinikmati secara
santai sambil meminum sake, dan
tidak mengikuti tata cara makan formal seperti masakan gaya Kaiseki atau
masakan gaya Honzen. Masakan yang berkembang di Ōrusuichaya disebut Kaisekiryōri (会席料理 masakan
jamuan makan?) yang ditulis memakai aksara kanji yang berbeda dengan masakan Kaiseki
untuk upacara minum teh.
Sementara itu, teknik pembuatan kue-kue
tradisional Jepang (Wagashi) menjadi berkembang berkat tersedianya
gula yang sudah menjadi
barang yang lumrah di zaman Edo. Alat makan dari keramik dan porselen mulai banyak digunakan
orang dan diberi hiasan berupa gambar-gambar artistik yang dikerjakan secara
serius. Daging ternak mulai dikonsumsi orang Jepang dan daging sapi dimakan sebagai obat. Di
pertengahan zaman Edo, makanan mulai dihias dengan Wachigai daikon (hiasan dari lobak)
sejalan dengan mulai dikenalnya teknik seni ukir sayur. Di zaman yang sama mulai dikenal telur
rebus aneh dengan kuning telur berada di luar dan putih telur di dalam (Kimigaeshi tamago).
Masakan Jepang yang dikenal sekarang
merupakan hasil penyempurnaan masakan di zaman Edo. Di masa itu dikenal
kewajiban Sankin Kōtai bagi daimyo dari
seluruh penjuru Jepang. Daimyo harus datang ke Edo untuk melakukan tugas
pemerintahan secara bergiliran sebagai pendamping shogun. Kedatangan daimyo dari seluruh
pelosok negeri membawa serta cara memasak dan bahan makanan yang khas dari
daerah masing-masing. Bahan makanan yang dibawa dari seluruh penjuru Jepang
menambah keanekaragaman masakan Jepang di Edo, apalagi ditambah dengan makanan
laut dari Teluk Edo (disebut Edomae)
yang segar dan enak. Hasil laut dari Samudra Pasifik seperti ikan tongkol sudah dijadikan menu tetap dalam sashimi.
Ikan kakap merupakan lambang kemakmuran dan ikan
kakap yang dipanggang utuh tanpa dipotong-potong merupakan hidangan istimewa
pada kesempatan khusus. Makanan yang dihidangkan pada pesta makan terdiri dari
dua jenis: makanan untuk dimakan di tempat pesta, dan makanan yang berfungsi
sebagai hiasan. Panggang ikan kakap termasuk dalam makanan hiasan yang boleh
saja dimakan di tempat pesta, tapi lebih merupakan hiasan yang dinanti-nanti
para tamu untuk dibawa pulang. Tradisi membawa pulang makanan pesta sebagai
oleh-oleh untuk keluarga yang menanti di rumah berasal dari zaman Edo dan terus
berlanjut hingga sekarang. Selain ikan kakap, tamu biasanya dipersilakan
membawa pulang kinton (biji berangan dan ubi jalar yang dihaluskan) dan kamaboko.
Masakan yang lahir dari berbagai
keanekaragaman di daerah Kanto
disebut masakan Edo atau masakan Kanto. Sebutan masakan Kanto digunakan untuk
menandingi masakan Kansai yang telah lebih dulu dikenal. Ciri khas masakan
Kanto adalah penggunaan kecap asin (shōyu)
sebagai penentu rasa, termasuk pada berbagai makanan berkuah (shirumono) dan nimono. Tradisi membawa pulang makanan pesta
merupakan alasan kecap asin digunakan dalam jumlah banyak pada masakan Kanto,
agar rasa makanan tetap enak walaupun sudah dingin. Berbeda dengan masakan
Kanto, masakan Kansai justru tidak terlalu asin walaupun mengandalkan garam dapur sebagai penentu rasa.
Masakan Kansai adalah sebutan untuk
masakan Osaka dan masakan Kyoto. Berbeda dengan budaya Edo yang
gemerlap, masakan Kyoto mencerminkan budaya Kyoto yang elegan. Masakan kuil
agama Buddha banyak mempengaruhi masakan Kyoto yang banyak menggunakan
sayur-sayuran, tahu, kembang tahu, dan sedikit makanan laut karena letak Kyoto yang
jauh dari laut. Masakan Kyoto melahirkan cara memasak dengan bumbu seminimal
mungkin agar rasa asli tahu atau kembang tahu yang memang sudah “tipis” tidak
hilang. Kepandaian mengolah ikan hasil awetan seperti Bodara (ikan Cod
kering) dan Migakinishin (ikan Hering kering) hingga menjadi
hidangan yang enak merupakan keistimewaan masakan Kyoto.
Sebagai kota tepi laut dengan hasil
laut yang melimpah, masakan Osaka mengenal berbagai cara pengolahan hasil laut.
Makanan laut diolah agar enak untuk langsung dimakan di tempat dan tidak untuk
dibawa pulang sebagai oleh-oleh. Masakan Osaka tidak mementingkan rasa makanan
kalau sudah dingin karena menganut prinsip “makanan yang habis dimakan”.
Prinsip ini bertolak belakang dengan masakan Kanto yang memikirkan rasa makanan
kalau sudah dingin. Seiring dengan perkembangan zaman, perbedaan antara masakan
Kansai dan masakan Kanto menjadi semakin kecil berkat saling belajar dari
kekuatan dan kelemahan masing-masing.
Di awal zaman Meiji, masakan Eropa menjadi mulai dikenal orang Jepang
yang melakukan kontak sehari-hari dengan orang asing. Sementara itu, di
kalangan rakyat tercipta makanan gaya Barat (Yōshoku) yang merupakan adaptasi masakan
Eropa. Berbagai aliran masak memasak mengalami kemunduran dan aliran Hōchōshiki merupakan satu-satunya aliran
yang terus bertahan. Larangan makan daging dihapus sesuai kebijakan pemerintah
Meiji mengenai Haibutsu kishaku dan Shinbutsu bunri sehingga tercipta
masakan Sukiyaki. Sementara itu, Honzen ryōri yang merupakan aliran utama masakan Jepang mulai
ditinggalkan orang. Masakan tradisional berupa Kaisekiryōri (会席料理 masakan
jamuan makan?) beralih menjadi makanan standar yang
dihidangkan rumah makan tradisional (ryōtei) dan
penginapan tradisional (ryōkan).
Masakan vegetarian Shōjinryōri berlanjut sebagai tradisi di kuil
agama Buddha dan makanan porsi kecil Kaisekiryōri (懐石料理?) bertahan hingga sekarang sebagai
hidangan upacara minum teh. Di bidang pertanian, tanaman sawi dan spinacia mulai ditanam secara besar-besaran. Di kota-kota mulai
banyak dijumpai rumah yang memiliki meja pendek yang disebut Chabudai sebagai pengganti nampan
berkaki yang disebut Ozen.
Keberadaan Chabudai yang bisa
dipakai sebagai meja makan untuk empat orang mengubah acara makan yang dulunya
dilakukan sendiri-sendiri dengan Ozen
pribadi menjadi acara berkumpul keluarga.
Juru masak pewaris tradisi masakan Edo
menjadi berkurang karena menjadi korban Gempa bumi besar Kanto dan tradisi masakan Honzen ryōri mulai memudar. Etiket makan mulai menjadi longgar dan orang
Jepang semakin menyukai suasana santai sewaktu makan. Setelah Perang Dunia II, kemudahan transportasi
dan kemajuan bidang komunikasi menyebabkan tipisnya perbedaan antardaerah dalam
soal bahan makanan dan cara memasak untuk makanan yang sama, walaupun masih
tersisa perbedaan mendasar dalam soal bumbu dan selera.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar